Tuesday, May 25, 2010

Fenomenalay

Kantor tiba-tiba jadi rame banget. Niat saya hanya untuk bertandang ke toilet. Ngga di sangka toilet full booked. Full booked oleh ABG yang berpakaian cukup gaul. Gaul menurut mereka. Celana ketat yang saat ini jadi trend, dan akan menambah gaya trendi mereka jika pakai kemeja kotak warna nge-jreng. ABG yang satu ini memang peduli banget soal penampilan, soal gaya dan soal eksistensi. Saya mendengarnya, mereka mendapat sebuah gelar, Alay.
Ngga mungkin susah cari remaja berpredikat “alay” ini. Coba temukan mereka di searxh engine Facebook atau Google sekalipun, pasti akan tertuduh topic mereka sebagai anak muda yang cenderung menggunakan bahasa gaul versi mereka sendiri. Menggabungkan antara huruf dan angka, hingga seperti halnya inovasi. Jangan berharap deh kita bakal menemukan istilah bahasa mereka di kamus besar Bahasa Indonesia. Kurang peka apa coba ya, kita setiap hari bisa menghuhubgkan antara istilah “alay” dengan aktivitas sehari-hari ABG yang masuk dalam kriteria itu.

Saya tersedak ketika saya memasukkan kata “alay” dalam search engine Google. Langsung aja terdeteksi artinya.

What is alay folk dance? In: Dance, Philippines Dance
Alay is an offering or a gift to honored guests. The gift could also be a song or a dance presentation to greet and welcome them. The tune to this dance is quite nice.


Wah, kalo yang itu sih istilah yang bawa nilai positif banget. Quiet nice bener. Menawarkan sebuah penampilan menarik dari sebuah tarian. Kalau “alay” yang ada di Indonesia definisinya pasti sudah negative. Negatif dari segi penampilan, sampai gaya hidup.

Yang paling jelas dan menohok adalah gaya tulisan mereka yang memang bisa dibilang sensasional. Apa itu EYD alias Ejaan Yang Disempurnakan? Apa itu Kamus Bahasa Indonesia? Boro-boro mereka mengerti.

Mereka adalah inovator. Setidaknya, menurut saya. Mereka menciptakan gaya mereka sendiri, yang mereka rasa mereka nyaman dengan itu. Mereka pasti ngga menyangka, bahwa gaya ini membuat mereka menjadi fenomena di Indonesia. Dulu, jaman Debby Sahertian dengan kamus gaulnya, kini giliran penerusnya sang “alay” menciptakan gaya bahasa baru di kalangan remaja. Kalangan mereka khususnya kali yaa..
Bayangin aja, kalau mereka memulai menulis kata yang sederhana seperti “aku”, mereka ubah menjadi lebih simple seperti “aq” atau hanya huruf “q” aja.

Ok, siapa yang merasa nyaman dengan gaya penulisan kaum “alay” ini, raise your hand! Anyone? None. None if you’re well-educated.
Siapa sih yang merasa nyaman dengan keadaan gaya penulisan mereka yang cenderung dinilai ngga komunikatif bahkan cenderung menjadi fenomena social ini? Yang ada, saya malah merasa kesel dan keganggu dengan keberadaan mereka. Keberadaan mereka semkain menjalar hingga ke situs pertemenan Facebook. Mereka merajai Facebook, bahkan dengan mulai menulis nama mereka dengan gaya penulisan mereka. pUT-3 R4Hm4WaT1. arrggh!

Bahasa Alay, katanya sih merupakan bahasa anak muda masa kini. Tapi, saya ngga setuju sih kalo ini dibilang masuk dalam kategori bahasa atau kata anak muda. Kurang pas gitu.
Soalnya, penggunaan bahasa alay ini maraknya populer dan dipopulerkan oleh anak-anak ABG (anak baru gede) seumuran SMP, maupun SMU. Bahasa kayak gini yang ngga lazim bagi saya, ngga lazim bagi orang-orang sehat dan normal seperti kita. Can you imagine flirting line, mereka kalo lagi pedekate?
“heii , lam knall yupz ! nmAquw neshaa . . !”
“l3h knl n mnt n0 hp 9 bwt nmbh tm3n”


Korban Teknologi
Mereka bisa menulis hingga menciptakan sebuah inovasi dalam tata bahasa gaul ini, ngga akan terwujud kalau ngga ada medianya. Media teknologi canggih bernama handphone dan juga internet. Fasilitas mereka paling mentok harus punya handphone. Apalagi jaman sekarang semenjak fenomena social ini merebak, banyak provider dan perusahaan telco berlomba-lomba menciptakan beragam handphone dengan harga terjangkau namun bisa tetap update dengan informasi. Belum lagi, kalangan mereka arus tetap eksis di dunia pertamanan maya internet semisal Facebook yang mengalahkan Friendster dulu, menyusul Twitter sekalipun. “alay” kebentuk yak arena adanya teknologi. Ya dong, dimana lagi mereka bisa mengekspresikan inovasi mereka itu? We can say that, without technology, none of these words are spoken and created by Alay language. Logikanya sih, kalo bukan gara-gara teknologi, si “alay” ngga bakal muncul. Ya toh?

Bahasa Ibu
Bahasa adalah penggunaan kode sehingga membentuk kata untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. - http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa
Ensiklopedia bahasa menjelaskan, bahwa setiap manusia memang mencoba mengungkapkan sebuah bahasa dengan berbagai cara. Nah, ini lah yang sang “alay” coba bentuk dan ekspresikan untuk mengkomunikasikan bahasa versi mereka.
Menurut kaum “alay”, sebuah bahasa sangat penting untuk menjadi jalur komunikasi antar teman mereka. Harus terlihat dan terdengar lucu, menggoda, bahkan menarik untuk mereka konsumsi. Ini adalah sebuah “suntikan” yang manjur bagi kalangan kelompok mereka yang juga menyukai “petualangan” sejenis. Ngga mungkin deh “angkatan” orang tua mereka, menghubungi mereka atau sekedar sms mereka dengan gabungan huruf dan angka itu. Bisa jadi, “qmu lgi d1m4n4? Bu n pk dh nuN66u’1N qmu L4M4..” Maksudnya, “Kamu lagi dimana? Ibu dan bapak udah nunggu kamu lama..”
Complicated ngga siihh.. Kebayang ngga kalo bukan “alay” ngomong kayak gini di SMS? Apalagi itu orang tua. Jelas,.. ngga mungkin.

Namun, bagi mereka komunikasi ya komunikasi. Mau kayak gimana penyampaiannya, asal di antara “kaum” mereka, mereka saling mengerti dan menikmati, kenapa engga?
Ngga gitu juga sih, masalahnya, kaum “alay” hidup bersosial ngga hanya antar kaum mereka aja kan. Mereka tinggal juga satu atap bumi bareng kita. Kita yang memang “manusia biasa”. Manusia biasa yang ngga mengerti bahasa “alay”.
Tapi, egois banget ya kedengerannya? Egois bahwa bahasa itu merupakan bahasa yang mereka anut sebagai komunikasi antar mereka. Let say, kalo bahasa “alay” ini adalah bahasa daerah yang ada di pedalaman, ketika kita bertandang ke pedalaman itu, dan kita tidak mengerti bahasa mereka, bahkan penulisannya pun pasti se-compicated bahasa “alay”, apakah kita mau dengan fair menerima hal yang sama? Memperlakukan mereka dengan sama seperti kaum “alay”? Ngga gitu juga kan? Porsinya sih, agar terdengar dan terlihat bijaksana, bisa ngga menggunakan bahasa “alay” di lingkungan “alay”? tidak menerapkan dan mengkomunikasikan bahasa “alay” ke pihak non-alay? Coba deh, kalo kita pikirin lagi, sejauh mereka menggunakan di kalangan mereka, yang mengganggu dari mereka apa ya? Hmm..

Dibilang capek juga ngga sih.. Tapi rasa risih mulai dirasakan jika harus berhadapan dengan “alay”. Mereka membentuk sebuah bond antara kaum mereka, membentuk sebuah gaya hidup baru bahkan mencoba membentuk kebiasaan yang orang biasa lazim lakukan. Sejak itu, mereka boleh aja bilang kalau mereka kreatif, ekspresif, atau bahkan nyeni, dalam mengembangkan gaya penulisan. Mungkin, bagi mereka hal yang masih memegang kaidah, dianggap ketinggalan jaman dan minim kreasi.

Kaum “alay” ini menggambarkan masih munculnya eksistensi terpuruknya gaya hidup dan kelas social serta pendidikan Indonesia umumnya, dan Jakarta khususnya. Lihat aja, mereka yang tergabung didalamnya cenderung anak-anak yang memang berasal dari pendidikan rendah serta keluarga miskin tertinggal. Apalagi media massa akhir-akhir ini cenderung menggambarkan gaya hidup anak muda sekarang yang penuh dengan hedonisme dan hura-hura. Semua serba baru dalam penampilan, serba maju dalam teknologi, serba mahal. Semakin mahal, semakin terlihat trendy. Bagi mereka sih, ngga mahal ngga papa, yang penting punya “mirip” yang mahal.

Well hey, “alay” hanya manusia biasa. Mereka manusia biasa yang mencoba tetap eksis di ranah hedon nya gaya hidup kaum urban. Mereka ingin di akui. Mereka ingin menjadi bagian dari sejarah, dan menjadi bagian dari kaum muda yang punya kelas social sepadan. Ok, boleh aja. Tapi gaya dan performa kalian, tetap saja.. ‘ganggu.

No comments:

Post a Comment