Monday, May 31, 2010

Ibu Sapi Caesar

10:30 pm.
Late night dinner. Waktu Bulungan, Jakarta Selatan.
Ngga lama setelah pesen makanan. Lirik lagu Bimbo berkumandang.
Ada anak bertanya pada Ibu, ”Mah, ini daging sapi?”
Si Ibu Cuma jawab, ”hmm..”
Si Anak bertanya lagi, ”Anak sapi keluar darimana sih?”
Si Ibu menjawabnya dengan enteng, sambil memotong Iga Bakar, ”Dari perut.”
Si Anak tanya lagi sekaligus menjadi gong malam itu, ”Ohh,, sapinya di caesar ya mah?”
Si Mamah, panggilan akrab si Ibu hanya berakting a la Desy Ratnasari, no comment.

Wednesday, May 26, 2010

TWIT TWIT CU IT!

Yeah! Say goodbye to Friendster, keep up the good work of Facebook, and now welcoming Twitter!
Waktu awal si Twitter muncul, mungkin bisa dibilang, saya orang yang paling update di kantor. Mereka semua menanyakan, apa serunya Twiiter. Saya cuma bisa bilang, kita bisa update status dan dapet informasi banyak dari situ. Mereka merespons, ahh,.. biasa aja kayak update status di Facebook.
Twiter di seluruh dunia. Ok, ternyata U.S masih paling hits di antara Negara lain soal Twitter. Tapi, tak di sangka tak dinyana, Indonesia ternyata salah satu negara yang pertumbuhan usernya paling banyak. Yaa, kita bisa lihat secara langsung, belum lagi TV terus aja menyebut situs ini yang jadi topik, dari berita entertainment maupun berita serius sekalipun. Lihat aja kasus para Tweeple (salah satu sebutan pengguna Twitter) yang men-tweet salah satu kalimat yang bisa menyinggung salah satu kelompok tertentu atau bahkan bisa mem-boost up ketenaran dan promosi sekalipun.
Ngga usah kita orang biasa, mentri kita aja ikutan Twitter, apalagi selebritis, yang pasti ngga mau kalah eksistensi dan ngga cukup lewat infotainment saja, mereka juga mau tetap di akui keberadaannya lewat Twitter, selama mereka hidup di dunia entertain(ment). Twitter jadi popular nih! Setidaknya.

Twitter mulai pinter, ngga hanya cuma update status aja. Kita bahkan bisa adding picture untuk sekedar share dan update sesuatu info. Walaupun cuma mau menunjukkan foto menu makan siang, acara konser sampe foto-foto yang bisa memprovokasi juga bisa di share. Ngga sedikit juga orang yang memanfaatkan Twitter buat hal jelek.

Ok, untuk membuat sebuah akun Twitter, kita harus mem-follow seseorang atau idealnya, harus ada fans atau (lagi) ada seseorang yang menjadi follower kita. Jadi, bisa dibilang, teknis usaha MLM bisa jadi merambat nih lewat Twitter! Pikir logis aja deh, misalnya aja sebuah produk ada promosi di Twitter. Mereka punya kampanye iklan, untuk mengajak ribuan orang yang memakai produk tersebut, masing-masing orang yang ikut dan mampu mengajak ribuan orang untuk pakai produk, dia yang akan dapet hadiah jutaan rupiah. Mungkin, ini sama keuntungannya jika promosi yang dilakukan juga diterapkan di Twitter.

Seberapa besar pengaruh Twitter di kaum urban, ternyata bisa jadi manfaat yang bbagus banget buat ajang dan media promosi yang sangat manjur – jamu masuk angin aja kalah – untuk mengenalkan blog, tulisan, atau pun situs pribadi.

Coba kita lihat account Twitter nya Adrie Subono. Banyak banget info yang kita dapet soal pagelaran konser heboh nan energik menggelitik – masya alloh bahasanya – bisa di updatenya hanya dengan menorehkan huruf yang berjumlah 140 karakter huruf di Twitter. Bahkan, Adrie pun ngga segan-segan kasih kuis yang disebutnya KUDA alias Kuis Dadakan, yang ngga tanggung-tanggung juga hadiahnya ya tiket konser yang di organizenya itu. After all, Adrie just one of us, sama seperti seperti kita yang ikutan Twitter untuk promosi soal garapan konsernya. Dengan ratusan ribu followers, yang saya yakin hampir sebagian besar penasaran banget sama apa yang akan di tweet sama Adrie. Promosi lewat Twitter adalah jalan sederhana yang, murah, gampang dan kemungkinan berhasilnya bisa terukur pula!

Adrie Subono adalah salah satu contoh aja sih.. Karena saya mengikuti perkembangan serunya pagelaran konser dan serunya media sosialisasi baru di dunia cyber. Lain lagi kalau kita ngomong soal serunya Twitter, kita bisa mendapatkan informasi yang update ngga hanya dunia entertainment saja. Beberapa waktu lalu, saya baru follow akun nya TMC Polda Metro. Konklusinya, saya dapat banyak info update soal lalu lintas dan perkembangannya.

Sebenarnya saya bukan mau melihat apakah cara mereka itu efektif atau ngga, karena Twitter cuma satu dari berbagai cara yang bisa ditempuh untuk mempromosikan sesuatu. Twitter jadi media social sebagai sarana promo, yang juga merupakan kombinasi dengan berbagai media untuk mencapai sebuah efektifitas, short of sharing pictures etc. Tapi, dengan banyaknya well-known people, instansi pemerintahan gabung di Twitter, saya pikir ini adalah perkembangan yang seru buat di amati dan nikmati.

But hey, we should be careful about what we tweet. Jangan sembarang nge-tweet kalau memang ngga bisa mempertanggungjawabkan efeknya ke depan. Think before tweet. Banyak faktor yang harus dipikirin untuk meng-update dan pasang promosi on line terutama lewat Twitter. Ngga semua orang berpikiran sama dengan kita, ngga semua orang suka dan bahkan setuju dengan status Twitter kita. Salah salah kita bisa di sue, hanya karena mendeskreditkan seseorang atau mengenakan t-shirt yang menjelekkan sesuatu ketika posting picture di Twitter. You are what you tweet..

Tuesday, May 25, 2010

Baik(nya)

Ternyata, menjadi orang baik itu enak juga. Maksudnya, bukan berarti saya ngga baik sih. Hanya saja, selama ini kebanyakan sudut pandang saya ketika pertama kali melihat orang itu pasti bawaannya judging by they looks and attitude. Selama ini, kemampuan “sixth sense” saya ini, saya manfaatkan sebagai kelebihan saya. Boro-boro melihat makhluk lain selain manusia, maksudnya makhluk gaib gitu, - duh jangan sampe yak.. *knock on wood*. Ini Cuma kemampuan melihat kecocokan seseorang dengan saya pribadi maupun ke dalam sebuah kelompok sekalipun. Temen saya bilang, kemampuan ini kalo di istilah China nya, chi ong. Dia pernah bilang saya saya kalo dia memiliki temen kantor yang memang ngga punya rasa sense of belonging yang tinggi, bahkan cenderung sok tau. Makanya gue chi ong sama dia, ngga cocok gitu deh, dan bener deh cara kerja nya dia juga ngga becus, begitu katanya penuh emosi.
Setiap kali bertemu dengan orang baru, sekejap kemampuan saya bekerja. Wah, saya langsung menikmati kemampuan saya ini. Kemampuan menilai orang lain hanya dengan sebentar saja berbicara dengan mereka, walau dengan sapa. Hanya sekedar halo, atau jabatan tangan sekalipun. Well, itu kemampuan saya, menilai orang lain. Setidaknya menilai dari penilaian yang objektif. Ya, menurut saya.

Klise
Kemampuan saya ini semakin tumbuh dan berkembang. Saya mengasahnya hanya dengan terbiasa bergaul dengan orang baru dan bahkan teman lama atau teman kantor yang sudah saya mengerti sekali tabiat mereka. Mulai dari masuk lift, dilanjutkan dengan basa-basi “Tumben baru datang?” atau pernyataan klise yang Cuma sekedar membuka topic pembicaraan pagi-pagi seperti, “Jakarta panas banget ya? Mana macet lagi!”
Oh, come on! Saya sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta, begitu juga dengan orang yang bahkan baru setahun bahkan let say, 3 bulan deh tinggal di Jakarta. Semua tahu kalau mobilitas kota Jakarta ngga luput dari macetnya lalu lintas bahkan kerumunan penduduknya yang membuat suasana makin gerah.

Old Friends
Lain lagi kalo ketemu temen lama, pertanyaan yang muncul, selain senyum simpul bahwa diri merasa sukses, paling mentok pertanyaannya seputar pekerjaan, pasangan bahkan pertanyaan yang lucu banget, “Sebentar deh, lo tinggal dimana deh gue lupa?”
Di titik saya merasa berkuasa menjadi orang yang paling “pintar” menilai orang lain, saya semakin sungguh menempati tempat paling tinggi di dunia. Seakan saya bisa men-judge orang tanpa mengenal mereka lebih dalam lagi.
Kalau saya ingat kembali pertama kali saya bertemu dengan sahabat-sahabat saya sekarang ini, membuat saya jadi berpikir kembali. Ayolah, ternyata saya ngga sehebat itu. Saya bukan Mama Lauren atau bahkan Uya Kuya yang menandingi Romy Rafael. Tapi, sekali lagi, kemampuan saya bukan itu kok! Sumpah deh. Kemampuan saya? Yaa,.. *tiba-tiba jadi bego dan rendah banget* Saya hanya manusia bodoh yang mengaku punya kemampuan menilai orang hanya dalam sekejap. Sampul buku memang atraktif untuk saya raih, namun ternyata isinya ngga menarik sama sekali. Membaca di chapter 1 saya membuat saya ogah untuk melanjutkan ke chapter berikutnya.

Strawberry & Choco Sandwich
Ketika pagi ini, saya bangun dengan perasaan senang, saya belajar untuk mengangkut beban dan menjadikannya ringan, membagi pesona kebaikan kepada semua orang. Ngga peduli walau satpam kantor dan resepsionis menebarkan senyum palsu, saya ngga peduli teman kantor basa-basi hanya untuk mulai pembicaraan. Saya mulai dengan membagi potongan roti selai strawberry dan cokelat kepada orang yang saya bebani dengan kemurkaan saya atas ketidaksukaan saya kepadanya, dimulai sejak dia masuk ke kantor ini. Dia membalasnya dengan ucapan terima kasih, dan bahkan senyuman!

Saya yakin, kita semua pernah punya niat baik untuk melakukan sesuatu yang baik. Tapi, ngga lama kita gagal buat melakukannya. Kita mungkin ingin menelepon untuk mengetahui kabar seorang sahabat, menyapa satpam kantor muka mesem, berkata “halo, selamat pagi” pada resepsionis namun dibalaas dengan senyuman palsu tidak ikhlas, atau sekedar menulis pesan singkat lewat SMS atau BBM Cuma untuk kasih semangat. Tapi, kenyataannya kita ngga punya waktu, atau .. ngga punya niat?

Memang? Ada sesuatu yang ditunda ya? Pikir saya dalam hati. Ngga ada kok! Setelah lama berpikir tentunya. Padahal saya ngga sibuk-sibuk amat. Saya bukan GM anyway, bahkan Direktur sekalipun. Tapi, rupanya jawabannya sudah saya dapatkan. Saya egois.

“Maksud baik ngga akan jadi baik, sampai maksud itu diwujudkan dalam tindakan..”

Fenomenalay

Kantor tiba-tiba jadi rame banget. Niat saya hanya untuk bertandang ke toilet. Ngga di sangka toilet full booked. Full booked oleh ABG yang berpakaian cukup gaul. Gaul menurut mereka. Celana ketat yang saat ini jadi trend, dan akan menambah gaya trendi mereka jika pakai kemeja kotak warna nge-jreng. ABG yang satu ini memang peduli banget soal penampilan, soal gaya dan soal eksistensi. Saya mendengarnya, mereka mendapat sebuah gelar, Alay.
Ngga mungkin susah cari remaja berpredikat “alay” ini. Coba temukan mereka di searxh engine Facebook atau Google sekalipun, pasti akan tertuduh topic mereka sebagai anak muda yang cenderung menggunakan bahasa gaul versi mereka sendiri. Menggabungkan antara huruf dan angka, hingga seperti halnya inovasi. Jangan berharap deh kita bakal menemukan istilah bahasa mereka di kamus besar Bahasa Indonesia. Kurang peka apa coba ya, kita setiap hari bisa menghuhubgkan antara istilah “alay” dengan aktivitas sehari-hari ABG yang masuk dalam kriteria itu.

Saya tersedak ketika saya memasukkan kata “alay” dalam search engine Google. Langsung aja terdeteksi artinya.

What is alay folk dance? In: Dance, Philippines Dance
Alay is an offering or a gift to honored guests. The gift could also be a song or a dance presentation to greet and welcome them. The tune to this dance is quite nice.


Wah, kalo yang itu sih istilah yang bawa nilai positif banget. Quiet nice bener. Menawarkan sebuah penampilan menarik dari sebuah tarian. Kalau “alay” yang ada di Indonesia definisinya pasti sudah negative. Negatif dari segi penampilan, sampai gaya hidup.

Yang paling jelas dan menohok adalah gaya tulisan mereka yang memang bisa dibilang sensasional. Apa itu EYD alias Ejaan Yang Disempurnakan? Apa itu Kamus Bahasa Indonesia? Boro-boro mereka mengerti.

Mereka adalah inovator. Setidaknya, menurut saya. Mereka menciptakan gaya mereka sendiri, yang mereka rasa mereka nyaman dengan itu. Mereka pasti ngga menyangka, bahwa gaya ini membuat mereka menjadi fenomena di Indonesia. Dulu, jaman Debby Sahertian dengan kamus gaulnya, kini giliran penerusnya sang “alay” menciptakan gaya bahasa baru di kalangan remaja. Kalangan mereka khususnya kali yaa..
Bayangin aja, kalau mereka memulai menulis kata yang sederhana seperti “aku”, mereka ubah menjadi lebih simple seperti “aq” atau hanya huruf “q” aja.

Ok, siapa yang merasa nyaman dengan gaya penulisan kaum “alay” ini, raise your hand! Anyone? None. None if you’re well-educated.
Siapa sih yang merasa nyaman dengan keadaan gaya penulisan mereka yang cenderung dinilai ngga komunikatif bahkan cenderung menjadi fenomena social ini? Yang ada, saya malah merasa kesel dan keganggu dengan keberadaan mereka. Keberadaan mereka semkain menjalar hingga ke situs pertemenan Facebook. Mereka merajai Facebook, bahkan dengan mulai menulis nama mereka dengan gaya penulisan mereka. pUT-3 R4Hm4WaT1. arrggh!

Bahasa Alay, katanya sih merupakan bahasa anak muda masa kini. Tapi, saya ngga setuju sih kalo ini dibilang masuk dalam kategori bahasa atau kata anak muda. Kurang pas gitu.
Soalnya, penggunaan bahasa alay ini maraknya populer dan dipopulerkan oleh anak-anak ABG (anak baru gede) seumuran SMP, maupun SMU. Bahasa kayak gini yang ngga lazim bagi saya, ngga lazim bagi orang-orang sehat dan normal seperti kita. Can you imagine flirting line, mereka kalo lagi pedekate?
“heii , lam knall yupz ! nmAquw neshaa . . !”
“l3h knl n mnt n0 hp 9 bwt nmbh tm3n”


Korban Teknologi
Mereka bisa menulis hingga menciptakan sebuah inovasi dalam tata bahasa gaul ini, ngga akan terwujud kalau ngga ada medianya. Media teknologi canggih bernama handphone dan juga internet. Fasilitas mereka paling mentok harus punya handphone. Apalagi jaman sekarang semenjak fenomena social ini merebak, banyak provider dan perusahaan telco berlomba-lomba menciptakan beragam handphone dengan harga terjangkau namun bisa tetap update dengan informasi. Belum lagi, kalangan mereka arus tetap eksis di dunia pertamanan maya internet semisal Facebook yang mengalahkan Friendster dulu, menyusul Twitter sekalipun. “alay” kebentuk yak arena adanya teknologi. Ya dong, dimana lagi mereka bisa mengekspresikan inovasi mereka itu? We can say that, without technology, none of these words are spoken and created by Alay language. Logikanya sih, kalo bukan gara-gara teknologi, si “alay” ngga bakal muncul. Ya toh?

Bahasa Ibu
Bahasa adalah penggunaan kode sehingga membentuk kata untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. - http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa
Ensiklopedia bahasa menjelaskan, bahwa setiap manusia memang mencoba mengungkapkan sebuah bahasa dengan berbagai cara. Nah, ini lah yang sang “alay” coba bentuk dan ekspresikan untuk mengkomunikasikan bahasa versi mereka.
Menurut kaum “alay”, sebuah bahasa sangat penting untuk menjadi jalur komunikasi antar teman mereka. Harus terlihat dan terdengar lucu, menggoda, bahkan menarik untuk mereka konsumsi. Ini adalah sebuah “suntikan” yang manjur bagi kalangan kelompok mereka yang juga menyukai “petualangan” sejenis. Ngga mungkin deh “angkatan” orang tua mereka, menghubungi mereka atau sekedar sms mereka dengan gabungan huruf dan angka itu. Bisa jadi, “qmu lgi d1m4n4? Bu n pk dh nuN66u’1N qmu L4M4..” Maksudnya, “Kamu lagi dimana? Ibu dan bapak udah nunggu kamu lama..”
Complicated ngga siihh.. Kebayang ngga kalo bukan “alay” ngomong kayak gini di SMS? Apalagi itu orang tua. Jelas,.. ngga mungkin.

Namun, bagi mereka komunikasi ya komunikasi. Mau kayak gimana penyampaiannya, asal di antara “kaum” mereka, mereka saling mengerti dan menikmati, kenapa engga?
Ngga gitu juga sih, masalahnya, kaum “alay” hidup bersosial ngga hanya antar kaum mereka aja kan. Mereka tinggal juga satu atap bumi bareng kita. Kita yang memang “manusia biasa”. Manusia biasa yang ngga mengerti bahasa “alay”.
Tapi, egois banget ya kedengerannya? Egois bahwa bahasa itu merupakan bahasa yang mereka anut sebagai komunikasi antar mereka. Let say, kalo bahasa “alay” ini adalah bahasa daerah yang ada di pedalaman, ketika kita bertandang ke pedalaman itu, dan kita tidak mengerti bahasa mereka, bahkan penulisannya pun pasti se-compicated bahasa “alay”, apakah kita mau dengan fair menerima hal yang sama? Memperlakukan mereka dengan sama seperti kaum “alay”? Ngga gitu juga kan? Porsinya sih, agar terdengar dan terlihat bijaksana, bisa ngga menggunakan bahasa “alay” di lingkungan “alay”? tidak menerapkan dan mengkomunikasikan bahasa “alay” ke pihak non-alay? Coba deh, kalo kita pikirin lagi, sejauh mereka menggunakan di kalangan mereka, yang mengganggu dari mereka apa ya? Hmm..

Dibilang capek juga ngga sih.. Tapi rasa risih mulai dirasakan jika harus berhadapan dengan “alay”. Mereka membentuk sebuah bond antara kaum mereka, membentuk sebuah gaya hidup baru bahkan mencoba membentuk kebiasaan yang orang biasa lazim lakukan. Sejak itu, mereka boleh aja bilang kalau mereka kreatif, ekspresif, atau bahkan nyeni, dalam mengembangkan gaya penulisan. Mungkin, bagi mereka hal yang masih memegang kaidah, dianggap ketinggalan jaman dan minim kreasi.

Kaum “alay” ini menggambarkan masih munculnya eksistensi terpuruknya gaya hidup dan kelas social serta pendidikan Indonesia umumnya, dan Jakarta khususnya. Lihat aja, mereka yang tergabung didalamnya cenderung anak-anak yang memang berasal dari pendidikan rendah serta keluarga miskin tertinggal. Apalagi media massa akhir-akhir ini cenderung menggambarkan gaya hidup anak muda sekarang yang penuh dengan hedonisme dan hura-hura. Semua serba baru dalam penampilan, serba maju dalam teknologi, serba mahal. Semakin mahal, semakin terlihat trendy. Bagi mereka sih, ngga mahal ngga papa, yang penting punya “mirip” yang mahal.

Well hey, “alay” hanya manusia biasa. Mereka manusia biasa yang mencoba tetap eksis di ranah hedon nya gaya hidup kaum urban. Mereka ingin di akui. Mereka ingin menjadi bagian dari sejarah, dan menjadi bagian dari kaum muda yang punya kelas social sepadan. Ok, boleh aja. Tapi gaya dan performa kalian, tetap saja.. ‘ganggu.